Senin, 30 September 2013

Komunikasi Terapeutik pada tuna rungu


A.   Komunikasi Terapeutik Pada Kelompok Khusus (Tuna Rungu)
Komunikasi terapeutik sangat diperlukan apalagi pada pasien tuna rungu yang yang mengalami kesulitan dalam menerima informasi.
1.    Definisi Tuna Rungu
Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran. Dalam perspektif patologis yang dianut oleh pakar medis, kedokteran, ahli pendidikan dan masyarakat umum yang memandang bahwa ketunarunguan sebagai impairment atau kerusakan (gangguan). Menurut bukti hasil penelitian antropologis atau linguistik pada orang tunarungu lebih dianggap sebagai orang yang cacat sehingga perlu dinormalisasikan melalui lembaga pendidikan khusus maupun rehabilitasi selama beberapa dekade. Mereka selalu berpikir orang tuna rungu harus bisa berbicara dan mendengar dengan menggunakan kecanggihan teknologi alat bantu dengar dan cochlear implants karena mau tidak mau mereka hidup di tengah dunia masyarakat. Ada upaya-upaya untuk menyembuhkan pendengaran mereka dengan teknologi kedokteran dan dampak ketunarunguan mereka terhadap psikologisnya cenderung menjadi pedoman untuk menyatakan bahwa mereka perlu diterapi untuk dapat melakukan adaptasi sosial di lingkungannya.

B.   Klasifikasi Ketunarunguan
pada umumnya klasifikasi anak tunarungu dibagi atas dua golongan atau kelompok besar yaitu tuli dan kurang dengar.
1.    Tuli
Orang tuli adalah seseorang yang mengalami kehilangan kemampuan mendengar sehingga membuat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik itu memakai atau tidak memakai alat dengar .
2.    Kurang dengar
Kurang dengar adalah seseorang yang mengalami kehilangan sebagian kemampuan mendengar, akan tetapi ia masih mempunyai sisa pendengaran dan pemakaian alat bantu dengar memungkinkan keberhasilan serta membantu proses informasi bahasa melalui pendengaran.







3
a)    Berdasarkan tingkat kerusakan/ kehilangan kemampuan mendengar percakapan/ bicara orang digolongkan dalam 5 kelompok, yaitu
1.  Sangat ringan 27 – 40 dB
2.  Ringan 41 – 55 dB
3.  Sedang 56 – 70 dB
4.  Berat 71 – 90 dB
5.  Ekstrim 91 dB ke atas Tuli

b)   Ketunarunguan berdasarkan tempat terjadinya kerusakan, dapat dibedakan atas
1.            Kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat bunyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga disebut tuli konduktif.
2.            Kerusakan telinga bagian dalam dan hubungan ke saraf otak yang menyebabkan tuli sensoris


C.   Karakteristik Tunarungu
Karakteristik individu yang mengalami tuna rungu adalah sebagai berikut       :
a.    Egosentrisme yang melebihi anak normal.
b.    Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas.
c.    Ketergantungan terhadap orang lain
d.    Perhatian mereka lebih sukar dialihkan.
e.    Mereka umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa banyak masalah.
f.      Mereka lebih mudah marah dan cepat tersinggung.


D.   Masalah Komunikasi Pada Pasien Tuna Rungu
Masalah komunikasi yang terjadi pada pasien tuna rungu
a.    Mengalami kesulitan dalam menerima dan memberikan informasi dalam interaksinya.
b.    Mudah marah dan cepat tersinggung (apabila salah dalam mendengar)
c.    Kurangnya kesadaran akan aspek-aspek diri sendiri yang akan sangat mempengaruhi interaksi dengan orang lain.

 4
E.   Cara Penyelesaian Masalah Dalam Komunikasi Pada Tuna Rungu
Berikut merupakan cara penyelesaian masalah dalam komunikasi pada klien tuna rungu :
a.    Menggunakan bahasa isyarat.
b.    Libatkan keluarga dalam komunikasi dengan tuna rungu.
c.    Gunakan alat bantu dengar.
d.    Gunakan bahasa pantomin.


F.    Tekhnik komunikasi pada klien tuna rungu :
a.    Penekanan intonasi dan gerak bibir
b.    Menurunkan jarak.
c.    Gunakan isyarat kata-kata atau bahasa yang berbentuk tindakan.
d.    Pengulangan kata.
e.    Menyentuh klien.
f.      Menjaga kontak mata.
g.    Jangan melakukan pembicaraan ketika sedang mengunyah.
h.    Gunakan bahasa pantomin bila memungkinkan dengan gerak sederhana dan perlahan.
i.      Gunakan bahasa isyarat atau bahasa jari jika bisa dan diperlukan
j.      Jika ada sesuatu yang sulit dikomunikasikan coba sampaikan dalam bentuk tulisan, gambar atau simbol.
k.    Gunakan bahasa, kalimat, kata-kata yang sederhana.

Mampu berkomunikasi secara efektif dengan bahasa isyarat sangat penting karena memudahkan kita untuk berkomunikasi dengan penderita Tuna Rungu (Tuli) maupun Tuna Wicara (Bisu) sehingga tidak terjadi kesalah pahaman. Karena seringkali banyak orang (termasuk saya) mengalami kesalahpahaman saat berkomunikasi dengan penderita tuna rungu dan tuna wicara.

Saya pun menyadari pentingnya bahasa isyarat sebagai salah satu bentuk komunikasi dalam pergaulan sehari-hari yang paling efektif.

9
Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk visual sehingga akan lebih mudah bagi manusia untuk memahami bahasa dalam bentuk visual dibandingkan verbal.
Dibawah ini ada beberapa jenis bahasa isyarat yang bisa di pakai:
1.    American Sign Language:
Bahasa isyarat yang paling banyak dikenal dan telah dipakai sebagai pedoman bahasa isyarat oleh dunia internasional.


2.    British Sign Language:
Merupakan variasi dari ASL yang sering dipakai di negara Inggris dan juga telah cukup dikenal di dunia internasional. Jenis BSL ini juga menggunakan gerakan tangan yang lebih aktif dari ASL.

3.    Indonesian Sign Language:
Isyarat ini telah diakui dan banyak digunakan di Indonesia. Dan tentu saja kita bisa memakainya sebagai salah satu acuan bahasa isyarat untuk berkomunikasi di Indonesia.

Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum menempatkan anak tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi, yaitu            :
  1. Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya sebelum anak tunarungu dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki bahasa yang dapat menjembatani pembelajaran yang dilakukan dikelas inklusi dan mampu berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar anak tunarungu mampu mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa harus menjadi penonton di dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup anak tunarungu hanya sebagai hiasan di kelas inklusi tanpa bisa mencerna dan memahami pembelajaran yang diberikan oleh guru.
  2. Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki guru pendamping yang berlatarbelakang PLB, lebih baik lagi jika guru pendamping tersebut berlatarbelakang dari sekolah luar biasa dengan bidang kajian yang sama dengan anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusi.
  3. Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu serta sedapat mungkin mampu berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang diberikan dapat dipahami dengan mudah.
  4. Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu seperti prinsip keterarahwajahan, keterarahsuaraan, prinsip intersubyektivitas dan prinsip kekonkritan.
  5. Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus.
  6. Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus.
Jika persyaratan diatas telah dipenuhi, maka selanjutnya pembelajaran di kelas inklusi bagi anak tunarungu dapat dilakukan. Pembelajaran tunarungu yang paling utama dan terutama adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh melalui percakapan. Untuk mencapai kepada pembelajaran yang bermakna bagi tunarungu dibutuhkan pendekatan khusus yaitu metode maternal reflektif.(MMR).
Pembelajaran bagi tunarungu berbeda dari pembelajaran yang ada pada umumnya. Hal ini dikarenakan tunarungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengarannya dan untuk itu maka diperlukan adanya visualisasi untuk lebih memudahkan tunarungu menyerap informasi.

Melalui metode maternal reflektif ini tunarungu diolah bahasanya. Mulai dari mengeluarkan suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai dengan artikulasinya, hingga tunarungu mampu berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan benar.Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah-kaidah percakapan.
  1. Kegiatan Percakapan
Kegiatan percakapan menjadi ciri utama dalam menggunakan metode maternal reflektif, karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan. Dalam metode ini dikenal dua jenis percakapan, yaitu percakapan dari hati ke hati atau conversation form heart to heart dan percakapan linguistik atau linguistic conversation (Uden, 1977).
Percakapan dari hati ke hati merupakan percakapan yang spontan, fleksibel untuk mengembangkan empati anak. Ungkapan yang dimaksud anak melalui kata-kata atau suara yang kurang jelas, gesti atau gerakan-gerakan lainnya dan isyarat ditangkap oleh guru (seizing method) dan dibahasakan sesuai dengan maksudnya kemudian meminta anak untuk mengucapkannya kembali (play a double part). Namun dalam kegiatan ini guru tetap menjaga lajunya percakapan dan pertukaran yang terjadi di antara anggota yang bercakap (anak dengan anak atau anak dengan guru) misalnya berupa persetujuan, penyangkalan, imbauan, atau komentar atau pertanyaan untuk memperjelas pesan komunikasi.
Membaca dan menulis penyandang tunarungu dikembangkan melalui percakapan. Pada awalnya perilaku berbahasa mereka berada pada taraf pengungkapan diri melalui gesti atau gerakan-gerakan lainnya, isyarat, dan suara-suara yang kurang jelas maknanya yang kemudian dibahasakan oleh guru melalui seizing method dan play a double part. Anak menerima masukan bahasa tersebut melalui membaca ujaran dan atau melalui pemanfaatan sisa pendengarannya. Ungkapan-ungkapan bahasa yang belum ditangkap secara sempurna dari diucapkannya dalam kegiatan percakapan itu dituliskan atau divisualkan dalan bentuk tulisan yang kemudian dibacanya.

Bacaan visualisasi hasil percakapan dipahami anak secara global intutif karena apa yang ditulisi dan dibacanya merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca permulaan pada anak tunarungu menurut MMR merupakan membaca ideo visual. Pengenalan bunyi fonem (vokalisasi dan konsonan) diberikan menyatu dalam kata dan pengucapannya sehingga lebih bermakna yang pada akhirnya anak mengenal huruf, kata, cara pengucapan, dan cara penulisannya. Dengan demikian dapat diaktakan bahwa perkembangan kemampuan berbahasa anak berlangsung secara serempak.
Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi bagi guru reguler hendaknya mengikuti teknik atau kaidah-kaidah guru sekolah luar biasa dalam membelajarkan anak tunarungu, prinsip-prinsip MMR harus dipahami oleh guru reguler, sehingga sekalipun di dalam kelas regular anak tunarungu tetap dilibatkan dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Kemampuan guru dalam melibatkan anak tunarungu dalam proses pembelajaran memang tidak semudah membelajarkan anak-anak yang mendengar, dikarenakan setiap kata yang diucapkan oleh guru harus dimengerti dan dipahami anak terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam substansi materi yang akan diberikan.
Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi haruslah benar-benar terprogram dan selalu berbasis pada pengembangan bahasa anak yang dilakukan secara berkesinambungan, karena tanpa bahasa yang dikuasai anak tunarungu, maka pembelajaran di kelas inklusi tidak akan bermanfaat.
  1. BKPBI dan Bina Wicara Sebagai Pendukung dalam Pembelajaran Tunarungu di Sekolah Inklusi
Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI) ialah pembinaan dalam penghayatan bunyi yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, sehingga sisa-sisa pendengaran dan perasaan vibrasi yang dimiliki anak-anak tunarungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi.

Pembinaan secara sengaja yang dimaksud adalah bahwa pembinaan itu dilakukan secara terprogram; tujuan, jenis pembinaan, metode yang digunakan dan alokasi waktunya sudah ditentukan sebelumnya. Sedangkan pembinaan secara tidak sengaja adalah pembinaan yang spontan karena anak bereaksi terhadap bunyi latar belakang yang hadir pada situasi pembelajaran di kelas, sepeti bunyi motor, bunyi helikopter atau halilintar, kemudian guru membahasakannya. Misalnya, “Oh kalian dengar suara motor ya ? Suaranya ‘brem... brem... brem...’ benar begitu ?”. Kemudian guru mengajak anak menirukan bunyi helikopter dan kembali meneruskan pembelajaran yang terhenti karena anak bereaksi terhadap bunyi latar belakang tadi
Secara singkat tujuan BKPBI adalah sebagai berikut :
  1. Agar anak tunarungu dapat terhindar dari cara hidup yang semata-mata tergantung pada daya penglihatan saja, sehingga cara hidupnya lebih mendekati anak normal.
  2. Agar kehidupan emosi anak tunarungu berkembang dengan lebih seimbang.
  3. Agar penyesuaian anak tunarungu menjadi lebih baik berkat dunia pengalamannya yang lebih luas.
  4. Agar motorik anak tunarungu berkembang lebih sempurna.
  5. Agar anak tunarungu mempunyai kemungkinan untuk mengadakan kontak yang lebih baik sebagai bekal hidup di masyarakat yang mendengar.
Dalam hal kemampuan berbicara, BKPBI dapat membantu agar anak tunarungu dapat membentuk sikap terhadap bicara yang lebih baik dan cara berbicara yang lebih jelas. Sarana BKPBI mencakup :
  1. Ruang Khusus untuk kegiatan pembelajaran yang sebaiknya dilengkapi dengan medan pengantar bunyi (sistem looping).
  2. Perlengkapan terdiri atas perlengkapan nonelektronik dan perlengkapan elektronik.
  3. Alat-alat penunjang yaitu perlengkapan bermain.
  4. Tenaga khusus pelaksana BKPBI hendaknya memenuhi beberapa persyaratan, antara lain memiliki latar belakang pendidikan guru anak tunarungu, memiliki dasar pengetahuan tentang musik, dan memiliki kreativitas dalam bidang seni tari dan musik.

15
Sekolah yang di dalamnya terdapat anak tunarungu,hendaknya memiliki ruang BKPBI sebagai pendukung dalam membelajarkan anak tunarungu dalam mengolah bahasanya. Sehingga kemampuan berbahasa anak tunarungu dapat ditingkatkan dan semakin berkembang. Guru berlatarbelakang pendidikan luar biasa kajian tunarungu, sangat diperlukan dalam mengembangkan bahasa anak tunarungu melalui BKPBI dan Bina Wicara.Untuk itu sekalipun berada di kelas inklusi namun anak tunarungu tetap mendapatkan latihan strong>BKPBI dan Bina Wicara. strong>BKPBI dan Bina Wicara ini sebaiknya diberikan secara rutin dan terus menerus hingga kosa kata anak bertambah banyak dan pada akhirnya mampu berkomunikasi dengan baik dan benar.
Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi yang dipaparkan diatas adalah salah satu contoh bentuk pembelajaran yang memasukan anak tunarungu di kelas regular untuk bersama-sama belajar dengan anak mendengar lainnya namun dalam waktu tertentu anak tunarungu tersebut diberikan latihan-latihan yang mampu membantu anak untuk memperoleh bahasa dan mengolah bahasa yang sudah dimilkinya melalui pendekatan MMR lalu ditunjang dengan latihan strong>BKPBI dan Bina Wicara.
Memasukan anak tunarungu ke dalam kelas inklusi tanpa memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan anak tersebut hanyalah sia-sia dan menambah penderitaan anak tunarungu saja. Untuk itu agar tidak menjadi penderitaan anak tunarungu sebaiknya sekolah harus benar-benar memberikan semua kebutuhan anak tunarungu dalam proses pembelajarannya melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran dengan pendekatan MMR melalui percakapan dengan didukung strong>BKPBI dan Bina Wicara. Dengan demikian pembelajaran anak tunarungu yang dilakukan di kelas inklusi dapat bermakna, sehingga anak tunarungu keberadaanya di sekolah inklusi bukan hanya sekedar diterima namun juga terlayani secara kebutuhannya yang terkait dengan kemampuannya untuk berbahasa dan berkomunikasi tanpa harus mendiskriminasikannya.






16
DAFTAR PUSTAKA

Bunawan, Lani dan C. Susila Yuwati (2000), Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu, Yayasan Santi Rama, Jakarta
Departemen Pendidikan Nasional (2000), Pengajaran Bina Persepsi Bunyi dan Irama untuk Anak Tunarungu, Jakarta
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004), Pedoman Pendidikan Terpadu/Inklusi Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, Jakarta
Dardjowidjoyo, Soenjono (2003), Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Unika Atmajaya, Jakarta
Gatty (1994), Mengajarkan Wicara kepad anak-anak Tunarungu, Alih bahasa Hartotanojo, Yayasan Karya Bakti, Wonosobo
Griffey, Nicholas (1981), A Survey of Present Metods of Developing Language in Deaf Children
Hargrove, Linda and James Poteet (1984), Assessment in Special Education (the education evaluation), Prentice Hall. Inc, New Jersey
Nugroho Bambang (2004), Pentingnya Intervensi Dini Secara Edukatif Bagi Anak Tunarungu, Makalah Pelatihan Teknis Tunarungu, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar