A.
Komunikasi
Terapeutik Pada Kelompok Khusus (Tuna Rungu)
Komunikasi
terapeutik sangat diperlukan apalagi pada pasien tuna rungu yang yang mengalami
kesulitan dalam menerima informasi.
1. Definisi Tuna Rungu
Tunarungu
adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar
baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya
sebagian atau seluruh alat pendengaran. Dalam perspektif patologis yang dianut
oleh pakar medis, kedokteran, ahli pendidikan dan masyarakat umum yang
memandang bahwa ketunarunguan sebagai impairment atau kerusakan (gangguan).
Menurut bukti hasil penelitian antropologis atau linguistik pada orang
tunarungu lebih dianggap sebagai orang yang cacat sehingga perlu
dinormalisasikan melalui lembaga pendidikan khusus maupun rehabilitasi selama
beberapa dekade. Mereka selalu berpikir orang tuna rungu harus bisa berbicara
dan mendengar dengan menggunakan kecanggihan teknologi alat bantu dengar dan
cochlear implants karena mau tidak mau mereka hidup di tengah dunia masyarakat.
Ada upaya-upaya untuk menyembuhkan pendengaran mereka dengan teknologi
kedokteran dan dampak ketunarunguan mereka terhadap psikologisnya cenderung
menjadi pedoman untuk menyatakan bahwa mereka perlu diterapi untuk dapat
melakukan adaptasi sosial di lingkungannya.
B.
Klasifikasi Ketunarunguan
pada
umumnya klasifikasi anak tunarungu dibagi atas dua golongan atau kelompok besar
yaitu tuli dan kurang dengar.
1. Tuli
Orang tuli
adalah seseorang yang mengalami kehilangan kemampuan mendengar sehingga membuat
proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik itu memakai atau tidak
memakai alat dengar .
2. Kurang dengar
Kurang dengar
adalah seseorang yang mengalami kehilangan sebagian kemampuan mendengar, akan
tetapi ia masih mempunyai sisa pendengaran dan pemakaian alat bantu dengar
memungkinkan keberhasilan serta membantu proses informasi bahasa melalui
pendengaran.
3
a)
Berdasarkan
tingkat kerusakan/ kehilangan kemampuan mendengar percakapan/ bicara orang
digolongkan dalam 5 kelompok, yaitu
1. Sangat ringan 27 – 40 dB
2. Ringan 41 – 55 dB
3. Sedang 56 – 70 dB
4. Berat 71 – 90 dB
5. Ekstrim 91 dB ke atas Tuli
b)
Ketunarunguan
berdasarkan tempat terjadinya kerusakan, dapat dibedakan atas
1.
Kerusakan
pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat bunyi-bunyian yang
akan masuk ke dalam telinga disebut tuli konduktif.
2.
Kerusakan
telinga bagian dalam dan hubungan ke saraf otak yang menyebabkan tuli sensoris
C.
Karakteristik Tunarungu
Karakteristik
individu yang mengalami tuna rungu adalah sebagai berikut :
a. Egosentrisme yang melebihi anak
normal.
b. Mempunyai perasaan takut akan lingkungan
yang lebih luas.
c. Ketergantungan terhadap orang lain
d. Perhatian mereka lebih sukar
dialihkan.
e. Mereka umumnya memiliki sifat yang
polos, sederhana dan tanpa banyak masalah.
f. Mereka lebih mudah marah dan cepat
tersinggung.
D.
Masalah Komunikasi Pada Pasien Tuna
Rungu
Masalah komunikasi yang terjadi pada pasien tuna rungu
Masalah komunikasi yang terjadi pada pasien tuna rungu
a. Mengalami kesulitan dalam menerima
dan memberikan informasi dalam interaksinya.
b. Mudah marah dan cepat tersinggung
(apabila salah dalam mendengar)
c. Kurangnya kesadaran akan aspek-aspek
diri sendiri yang akan sangat mempengaruhi interaksi dengan orang lain.
E.
Cara Penyelesaian Masalah Dalam
Komunikasi Pada Tuna Rungu
Berikut merupakan cara penyelesaian masalah dalam komunikasi pada klien tuna rungu :
Berikut merupakan cara penyelesaian masalah dalam komunikasi pada klien tuna rungu :
a. Menggunakan bahasa isyarat.
b. Libatkan keluarga dalam komunikasi
dengan tuna rungu.
c. Gunakan alat bantu dengar.
d. Gunakan bahasa pantomin.
F.
Tekhnik komunikasi pada klien tuna
rungu :
a. Penekanan intonasi dan gerak bibir
b. Menurunkan jarak.
c. Gunakan isyarat kata-kata atau bahasa
yang berbentuk tindakan.
d. Pengulangan kata.
e. Menyentuh klien.
f. Menjaga kontak mata.
g. Jangan melakukan pembicaraan ketika
sedang mengunyah.
h. Gunakan bahasa pantomin bila
memungkinkan dengan gerak sederhana dan perlahan.
i. Gunakan bahasa isyarat atau bahasa
jari jika bisa dan diperlukan
j. Jika ada sesuatu yang sulit
dikomunikasikan coba sampaikan dalam bentuk tulisan, gambar atau simbol.
k. Gunakan bahasa, kalimat, kata-kata
yang sederhana.
Mampu
berkomunikasi secara efektif dengan bahasa isyarat sangat penting karena
memudahkan kita untuk berkomunikasi dengan penderita Tuna Rungu (Tuli) maupun
Tuna Wicara (Bisu) sehingga tidak terjadi kesalah pahaman. Karena seringkali
banyak orang (termasuk saya) mengalami kesalahpahaman saat berkomunikasi dengan
penderita tuna rungu dan tuna wicara.
Saya pun menyadari pentingnya bahasa isyarat sebagai salah satu bentuk komunikasi dalam pergaulan sehari-hari yang paling efektif.
Saya pun menyadari pentingnya bahasa isyarat sebagai salah satu bentuk komunikasi dalam pergaulan sehari-hari yang paling efektif.
9
Karena
pada dasarnya manusia adalah makhluk visual sehingga akan lebih mudah bagi
manusia untuk memahami bahasa dalam bentuk visual dibandingkan verbal.
Dibawah ini ada beberapa jenis bahasa isyarat yang bisa di pakai:
Dibawah ini ada beberapa jenis bahasa isyarat yang bisa di pakai:
1. American
Sign Language:
Bahasa
isyarat yang paling banyak dikenal dan telah dipakai sebagai pedoman bahasa
isyarat oleh dunia internasional.
2. British Sign Language:
Merupakan variasi dari ASL yang sering dipakai di
negara Inggris dan juga telah cukup dikenal di dunia internasional. Jenis BSL
ini juga menggunakan gerakan tangan yang lebih aktif dari ASL.
3. Indonesian
Sign Language:
Isyarat ini telah diakui dan
banyak digunakan di Indonesia. Dan tentu saja kita bisa memakainya sebagai
salah satu acuan bahasa isyarat untuk berkomunikasi di Indonesia.
Pembelajaran
anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum menempatkan anak
tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi,
yaitu :
- Anak
tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya sebelum anak tunarungu
dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki bahasa yang
dapat menjembatani pembelajaran yang dilakukan dikelas inklusi dan mampu
berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar anak tunarungu
mampu mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa harus
menjadi penonton di dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup anak tunarungu
hanya sebagai hiasan di kelas inklusi tanpa bisa mencerna dan memahami
pembelajaran yang diberikan oleh guru.
- Sekolah
yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki guru
pendamping yang berlatarbelakang PLB, lebih baik lagi jika guru pendamping
tersebut berlatarbelakang dari sekolah luar biasa dengan bidang kajian
yang sama dengan anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusi.
- Guru
regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu serta sedapat
mungkin mampu berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang
diberikan dapat dipahami dengan mudah.
- Guru
regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu
seperti prinsip keterarahwajahan, keterarahsuaraan, prinsip
intersubyektivitas dan prinsip kekonkritan.
- Lingkungan
di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak
berkebutuhan khusus.
- Sarana
dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus.
Jika
persyaratan diatas telah dipenuhi, maka selanjutnya pembelajaran di kelas
inklusi bagi anak tunarungu dapat dilakukan. Pembelajaran tunarungu yang paling
utama dan terutama adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh
melalui percakapan. Untuk mencapai kepada pembelajaran yang bermakna bagi
tunarungu dibutuhkan pendekatan khusus yaitu metode maternal reflektif.(MMR).
Pembelajaran
bagi tunarungu berbeda dari pembelajaran yang ada pada umumnya. Hal ini
dikarenakan tunarungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengarannya dan
untuk itu maka diperlukan adanya visualisasi untuk lebih memudahkan tunarungu
menyerap informasi.
Melalui
metode maternal reflektif
ini tunarungu diolah bahasanya. Mulai dari mengeluarkan suara, mengucapkan kata
dengan benar sesuai dengan artikulasinya, hingga tunarungu mampu berkomunikasi
dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan benar.Secara garis besar,
kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas kegiatan percakapan,
termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis yang dikemas secara terpadu
dan utuh. Dengan ini anak memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah-kaidah
percakapan.
- Kegiatan
Percakapan
Kegiatan percakapan menjadi ciri utama
dalam menggunakan metode maternal reflektif, karena penyampaian materi ajar
semua bidang studi dilakukan melalui percakapan. Dalam metode ini dikenal dua
jenis percakapan, yaitu percakapan dari hati ke hati atau conversation form heart to heart
dan percakapan linguistik atau linguistic
conversation (Uden, 1977).
Percakapan dari hati ke hati merupakan
percakapan yang spontan, fleksibel untuk mengembangkan empati anak. Ungkapan
yang dimaksud anak melalui kata-kata atau suara yang kurang jelas, gesti atau
gerakan-gerakan lainnya dan isyarat ditangkap oleh guru (seizing method) dan
dibahasakan sesuai dengan maksudnya kemudian meminta anak untuk mengucapkannya
kembali (play a double part).
Namun dalam kegiatan ini guru tetap menjaga lajunya percakapan dan pertukaran
yang terjadi di antara anggota yang bercakap (anak dengan anak atau anak dengan
guru) misalnya berupa persetujuan, penyangkalan, imbauan, atau komentar atau
pertanyaan untuk memperjelas pesan komunikasi.
Membaca dan menulis penyandang
tunarungu dikembangkan melalui percakapan. Pada awalnya perilaku berbahasa
mereka berada pada taraf pengungkapan diri melalui gesti atau gerakan-gerakan
lainnya, isyarat, dan suara-suara yang kurang jelas maknanya yang kemudian
dibahasakan oleh guru melalui seizing method dan play a double part. Anak
menerima masukan bahasa tersebut melalui membaca ujaran dan atau melalui
pemanfaatan sisa pendengarannya. Ungkapan-ungkapan bahasa yang belum ditangkap
secara sempurna dari diucapkannya dalam kegiatan percakapan itu dituliskan atau
divisualkan dalan bentuk tulisan yang kemudian dibacanya.
Bacaan visualisasi hasil percakapan
dipahami anak secara global intutif karena apa yang ditulisi dan dibacanya
merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca merupakan ide-ide
mereka sendiri. Oleh karena itu membaca permulaan pada anak tunarungu menurut MMR merupakan membaca
ideo visual. Pengenalan bunyi fonem (vokalisasi dan konsonan) diberikan menyatu
dalam kata dan pengucapannya sehingga lebih bermakna yang pada akhirnya anak
mengenal huruf, kata, cara pengucapan, dan cara penulisannya. Dengan demikian
dapat diaktakan bahwa perkembangan kemampuan berbahasa anak berlangsung secara
serempak.
Pelaksanaan pembelajaran di kelas
inklusi bagi guru reguler hendaknya mengikuti teknik atau kaidah-kaidah guru
sekolah luar biasa dalam membelajarkan anak tunarungu, prinsip-prinsip MMR harus dipahami
oleh guru reguler, sehingga sekalipun di dalam kelas regular anak tunarungu
tetap dilibatkan dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Kemampuan
guru dalam melibatkan anak tunarungu dalam proses pembelajaran memang tidak
semudah membelajarkan anak-anak yang mendengar, dikarenakan setiap kata yang
diucapkan oleh guru harus dimengerti dan dipahami anak terlebih dahulu sebelum
masuk ke dalam substansi materi yang akan diberikan.
Pembelajaran anak tunarungu di kelas
inklusi haruslah benar-benar terprogram dan selalu berbasis pada pengembangan
bahasa anak yang dilakukan secara berkesinambungan, karena tanpa bahasa yang
dikuasai anak tunarungu, maka pembelajaran di kelas inklusi tidak akan
bermanfaat.
- BKPBI
dan Bina Wicara Sebagai Pendukung dalam Pembelajaran Tunarungu di Sekolah
Inklusi
Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan
Irama (BKPBI)
ialah pembinaan dalam penghayatan bunyi yang dilakukan dengan sengaja atau tidak
sengaja, sehingga sisa-sisa pendengaran dan perasaan vibrasi yang dimiliki
anak-anak tunarungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan
dunia sekelilingnya yang penuh bunyi.
Pembinaan secara sengaja yang dimaksud
adalah bahwa pembinaan itu dilakukan secara terprogram; tujuan, jenis
pembinaan, metode yang digunakan dan alokasi waktunya sudah ditentukan
sebelumnya. Sedangkan pembinaan secara tidak sengaja adalah pembinaan yang spontan
karena anak bereaksi terhadap bunyi latar belakang yang hadir pada situasi
pembelajaran di kelas, sepeti bunyi motor, bunyi helikopter atau halilintar,
kemudian guru membahasakannya. Misalnya, “Oh
kalian dengar suara motor ya ? Suaranya ‘brem... brem... brem...’ benar begitu
?”. Kemudian guru mengajak anak menirukan bunyi helikopter dan
kembali meneruskan pembelajaran yang terhenti karena anak bereaksi terhadap
bunyi latar belakang tadi
Secara singkat tujuan BKPBI adalah sebagai
berikut :
- Agar
anak tunarungu dapat terhindar dari cara hidup yang semata-mata tergantung
pada daya penglihatan saja, sehingga cara hidupnya lebih mendekati anak
normal.
- Agar
kehidupan emosi anak tunarungu berkembang dengan lebih seimbang.
- Agar
penyesuaian anak tunarungu menjadi lebih baik berkat dunia pengalamannya
yang lebih luas.
- Agar
motorik anak tunarungu berkembang lebih sempurna.
- Agar
anak tunarungu mempunyai kemungkinan untuk mengadakan kontak yang lebih
baik sebagai bekal hidup di masyarakat yang mendengar.
Dalam
hal kemampuan berbicara, BKPBI
dapat membantu agar anak tunarungu dapat membentuk sikap terhadap bicara yang
lebih baik dan cara berbicara yang lebih jelas. Sarana BKPBI mencakup :
- Ruang
Khusus untuk kegiatan pembelajaran yang sebaiknya dilengkapi dengan medan pengantar
bunyi (sistem looping).
- Perlengkapan
terdiri atas perlengkapan nonelektronik dan perlengkapan elektronik.
- Alat-alat
penunjang yaitu perlengkapan bermain.
- Tenaga
khusus pelaksana BKPBI
hendaknya memenuhi beberapa persyaratan, antara lain memiliki latar
belakang pendidikan guru anak tunarungu, memiliki dasar pengetahuan
tentang musik, dan memiliki kreativitas dalam bidang seni tari dan musik.
15
Sekolah
yang di dalamnya terdapat anak tunarungu,hendaknya memiliki ruang BKPBI sebagai
pendukung dalam membelajarkan anak tunarungu dalam mengolah bahasanya. Sehingga
kemampuan berbahasa anak tunarungu dapat ditingkatkan dan semakin berkembang.
Guru berlatarbelakang pendidikan luar biasa kajian tunarungu, sangat diperlukan
dalam mengembangkan bahasa anak tunarungu melalui BKPBI dan Bina Wicara.Untuk itu
sekalipun berada di kelas inklusi namun anak tunarungu tetap mendapatkan
latihan strong>BKPBI dan Bina
Wicara. strong>BKPBI dan Bina Wicara ini sebaiknya diberikan
secara rutin dan terus menerus hingga kosa kata anak bertambah banyak dan pada
akhirnya mampu berkomunikasi dengan baik dan benar.
Pembelajaran
anak tunarungu di kelas inklusi yang dipaparkan diatas adalah salah satu contoh
bentuk pembelajaran yang memasukan anak tunarungu di kelas regular untuk
bersama-sama belajar dengan anak mendengar lainnya namun dalam waktu tertentu
anak tunarungu tersebut diberikan latihan-latihan yang mampu membantu anak
untuk memperoleh bahasa dan mengolah bahasa yang sudah dimilkinya melalui pendekatan
MMR lalu
ditunjang dengan latihan strong>BKPBI dan Bina Wicara.
Memasukan
anak tunarungu ke dalam kelas inklusi tanpa memberikan layanan yang sesuai
dengan kebutuhan anak tersebut hanyalah sia-sia dan menambah penderitaan anak
tunarungu saja. Untuk itu agar tidak menjadi penderitaan anak tunarungu
sebaiknya sekolah harus benar-benar memberikan semua kebutuhan anak tunarungu
dalam proses pembelajarannya melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran dengan
pendekatan MMR
melalui percakapan dengan didukung strong>BKPBI dan Bina Wicara. Dengan
demikian pembelajaran anak tunarungu yang dilakukan di kelas inklusi dapat
bermakna, sehingga anak tunarungu keberadaanya di sekolah inklusi bukan hanya
sekedar diterima namun juga terlayani secara kebutuhannya yang terkait dengan
kemampuannya untuk berbahasa dan berkomunikasi tanpa harus
mendiskriminasikannya.
16
DAFTAR PUSTAKA
Bunawan,
Lani dan C. Susila Yuwati (2000), Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu,
Yayasan Santi Rama, Jakarta
Departemen
Pendidikan Nasional (2000), Pengajaran Bina Persepsi Bunyi dan
Irama untuk Anak Tunarungu, Jakarta
Direktorat
Pendidikan Luar Biasa (2004), Pedoman Pendidikan Terpadu/Inklusi
Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus, Dirjen Dikdasmen,
Depdiknas, Jakarta
Dardjowidjoyo,
Soenjono (2003), Psikolinguistik
Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Unika
Atmajaya, Jakarta
Gatty
(1994), Mengajarkan
Wicara kepad anak-anak Tunarungu, Alih bahasa Hartotanojo, Yayasan
Karya Bakti, Wonosobo
Griffey,
Nicholas (1981), A
Survey of Present Metods of Developing Language in Deaf Children
Hargrove,
Linda and James Poteet (1984), Assessment in Special Education (the
education evaluation), Prentice Hall. Inc, New Jersey
Nugroho
Bambang (2004), Pentingnya
Intervensi Dini Secara Edukatif Bagi Anak Tunarungu, Makalah Pelatihan Teknis
Tunarungu, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar